Resolusi Tahun Baru yang Kedaluwarsa

Sunday, January 01, 2017


Selamat tahun baru 2017! Semoga kita sehat selalu dan makin produktif berkarya. Pada momen ini, biasanya orang-orang terbagi menjadi dua jenis. Pertama adalah mereka yang membuat resolusi tahun baru. Kedua, mereka yang lebih suka menjalani hidup tanpa target tertentu. Jadi mengalir begitu saja seperti aliran sungai. Menurut saya, tak ada yang lebih baik maupun lebih buruk—semua tergantung pada orang yang menjalani.

Photo by Ian Schneider on Unsplash
Saya sendiri lebih suka membuat target. Sebab, sejak dulu keluarga saya berorientasi pada prestasi. Proses dan segala suka dukanya memang penting. Namun pada akhirnya yang dinilai adalah hasil, jadi harus berusaha sungguh-sungguh supaya dapat hasil terbaik. Apakah rasanya tertekan? Sejujurnya, ya. Namun sedikit tekanan bisa membuat hidup lebih maju. Karena itulah saya menulis target-target dengan jelas. Baik target akademis, karier, keuangan, sampai target berkeluarga yang mungkin masih sejuta tahun cahaya lagi. Secara berkala, saya mengecek daftar itu dan mencoret mana saja yang sudah terpenuhi.

Walau begitu, ada beberapa target yang tak kunjung saya coret. Sebagian di antaranya adalah sisa-sisa resolusi tahun baru (entah tahun berapa). Ada yang perkembangannya sangat lambat, bahkan ada yang belum pernah saya mulai. Sekumpulan target itu hanya bercokol di sana. Lama-lama jadi busuk. Lantas kedaluwarsa. Namun, makanan yang kedaluwarsa saja masih bisa dimakan. Misalnya biskuit, cokelat, dan keju—asal ditangani dengan tepat. Begitu pula resolusi tahun baru yang sudah terlewat. Tak ada kata terlambat untuk memulainya. Mari kita lakukan bersama!

Tahun ini, saya ingin melanjutkan sebuah resolusi yang dibuat setahun lalu. Yaitu belajar fotografi. Kenapa fotografi dan bukan yang lain? Dari dulu saya memang suka belajar berbagai bidang seni. Mulai dari seni rupa, sastra, karawitan, tari tradisional, membatik, desain grafis, teater, musikalisasi puisi, sinema, sampai musik. Padahal tidak berbakat. Misalnya saja di bidang musik, saya pernah mencoba jadi gitaris dan membentuk band saat SMA. Tiap hari belajar gitar sampai jari-jari lecet dan terkelupas. Namun keahlian tak banyak berkembang. Walau begitu, rasanya senang sekali saat melakukannya. Ada kepuasan yang diperoleh. Belajar kesenian selalu seru, dan tahun ini saya memilih fotografi.

Alasan selanjutnya adalah karena saya sering dikelilingi fotografer. Di pers mahasiswa kampus yang saya ikuti, ada pasukan fotografer yang giat turun lapangan. Ada juga sejumlah teman dekat yang hobi bawa kamera ke mana-mana. Saat mengurus event pun, ada saja fotografer yang berkenalan. Bahkan saya pernah pacaran dengan fotografer. Karena itu, saya sering melihat dan menikmati foto-foto mereka. Rasanya menyenangkan. Sensasinya berbeda dari mengamati lukisan yang sudah saya lakukan sejak kecil. Keindahan foto terasa lebih jelas dan gamblang. Namun tetap menyimpan misteri. Saya pun tertarik untuk mempelajarinya lebih jauh.

Saat tahun 2016, sebenarnya saya sudah berusaha belajar fotografi. Membaca teori secukupnya. Sebagian besar dilakukan secara trial and error. Dimulai dengan memotret beberapa acara yang saya ikuti. Acara pertama adalah peringatan 17 Agustus di desa. Ada banyak lomba untuk anak-anak SD—mulai dari lomba bakiak, makan kerupuk, sampai balap karung dan kelereng. Semua orang kelihatan gembira. Saya pun memotret dengan antusias. Saat mengecek foto di kamera, sepertinya baik-baik saja. Namun saat dilihat di laptop, betapa kagetnya saya, ternyata sebagian besar fotonya blur! Dengan panik saya bertanya pada teman. Katanya, saya harus melakukan sesuatu dengan pengaturan ISO (entah apa itu).

Acara kedua dan ketiga yang saya potret adalah perpisahan. Terdiri dari serangkaian sambutan, pertunjukan, dan serah terima hadiah. Di acara kedua saya cukup santai. Karena ada beberapa fotografer, saya pun hanya memotret dari satu atau dua titik saja. Kali ini tingkat blur berkurang. Namun entah kenapa foto-foto saya terasa monoton. Lalu seorang teman bilang, harusnya saya memotret dari berbagai sudut—kanan, kiri, depan, belakang, diagonal, dan close up—supaya hasil fotonya bervariasi. Maka di acara yang ketiga saya lebih banyak gerak. Berusaha pindah-pindah terus. Padahal penonton yang datang banyak sekali, sampai ratusan. Semua bergairah menunggu pengisi utama. Jadilah saya memotret di antara himpitan orang-orang, udara yang makin panas, dan kadar oksigen yang mencekik. Ternyata jadi fotografer itu begini ya…

Kemudian, saya beberapa kali memotret pameran dan jalan-jalan santai bersama teman. Hasil fotonya membaik. Namun rasanya belum memenuhi standar, jadi tak banyak yang saya publikasikan. Belajar fotografi memang tak mudah. Lebih tepatnya, belajar segala sesuatu—apa pun itu—selalu butuh usaha ekstra. Kita harus membuang ego dan gengsi jauh-jauh. Sebab akan menghadapi berbagai tantangan baru. Ada kalanya kita akan merasa bodoh dan tak tahu apa-apa. Tapi tenang saja, pengetahuan dan pengalaman bertambah seiring waktu. Yang penting terus belajar. Tak perlu cemas apakah ilmu itu bisa berguna di masa depan, atau apakah bisa menghasilkan uang. Bukankah belajar juga salah satu bentuk kesenangan?

***
Catatan dari penulis, 10 Januari 2024:
Aku membaca ulang tulisan ini dan merasa perlu menambahkan pendapat yang lebih relevan denganku sekarang. Aku masih merasa kalau hasil itu penting, apalagi kalau kita sedang bekerja sama dengan orang lain dan terikat perjanjian. Namun, sekarang aku sadar kalau berproses itu tak kalah penting dari hasil. Kita perlu menikmati dan berdamai dengan proses, supaya bisa mendapat hasil yang baik dan bertahan jangka panjang. Sekarang aku pun berusaha menikmati proses hidupku pelan-pelan.

You Might Also Like

0 comments