Bali dan Kehidupan KKN
Friday, June 24, 2016
Saat menulis ini, saya berada di Desa
Medahan, Bali. Hari sudah siang dan sangat panas. Kebetulan pondok yang saya
tinggali sedang sepi. Dari 16 orang yang tinggal di sini, separuhnya sedang
pergi—sedangkan sisanya istirahat sambil menunggu acara selanjutnya. Kesempatan
ini saya manfaatkan untuk menulis blog.
Apa yang saya lakukan di Bali? Sekarang
saya sedang menjalankan Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama tujuh minggu. Lokasinya
adalah Desa Medahan dan Desa Pering di Gianyar, Bali. Kelompok saya berjumlah
31 orang dari berbagai jurusan. Rencananya, kami akan mengabdi dengan cara
terjun langsung ke masyarakat. Nah, sekarang saya akan bercerita tentang KKN
kami.
Perjalanan dari Jogja ke Bali
Perjalanan kami dimulai Sabtu, 19
Juni 2016. Sebenarnya KKN baru mulai secara resmi tanggal 20 Juni. Tapi karena
perjalanan ke Bali butuh waktu seharian, kami harus berangkat sehari sebelumnya
supaya sampai tepat waktu. Demi menghemat ongkos, kami tidak naik pesawat, tapi
menyewa satu bus besar untuk dinaiki kelompok dan satu truk untuk mengangkut
barang. Untung busnya sangat nyaman. Mereka menyediakan bantal, selimut, dan
kursi yang ada sandaran kakinya. Tak terasa kami sudah berjam-jam naik bus.
Beberapa saat setelah maghrib, bus
berhenti di sebuah restoran dan kami semua makan. Lalu perjalanan dilanjutkan.
Kami naik bus lagi selama berjam-jam. Karena duduk di kursi paling depan, saya
melihat pemandangan jalan secara langsung—gelap, berliku, dan agak
menyeramkan—belum lagi busnya suka menyalip. Perjalanan berhenti sejenak saat
kami sampai di perbatasan Jawa dan Bali. Untuk menyeberangi selat, bus kami naik
ke kapal ferry. Proses menyeberang
memakan waktu sekitar 45 menit. Bukan karena jaraknya jauh, melainkan karena
kapal harus menunggu giliran merapat di pelabuhan.
Setelah sampai di Pelabuhan Gilimanuk
Bali, bus kami melanjutkan perjalanan ke desa. Tadi saya sudah bercerita kalau
kelompok ini berisi 31 orang. Jumlah itu dibagi ke dua lokasi: Desa Medahan dan
Desa Pering. Ada 16 orang di Medahan dan 15 orang di Pering. Lantas setiap desa
dibagi menjadi dua subunit dengan anggota 7-8 orang. Jarak antardesa sekitar 10
menit kalau naik motor. Kami membawa banyak motor dari Jogja ditambah beberapa
motor yang dipinjam dari Bali. Transportasi memang sangat penting. Kalau tidak
ada motor, kami harus jalan kaki ke mana-mana—padahal cuaca di Bali sangat
panas.
Singkat cerita, kami pun sampai di
kedua desa itu sekitar tengah hari. Masing-masing mendapat pondok untuk
ditinggali. Namun sebelum bisa istirahat, kami harus membereskan pondok dan
mengatur barang-barang yang jumlahnya sangat banyak. Ada koper, kasur, ember,
tikar, dan banyak lagi. Seolah-olah kami sedang pindahan!
Beres-beres pondok
Saya mendapat lokasi di Desa Medahan.
Pondok kami adalah bangunan yang berada tepat di sebelah puskesmas. Ada empat
ruangan di sini: dua ruang tidur, satu ruang tengah, dan satu kamar mandi.
Ukurannya tak terlalu besar. Sesak rasanya kalau 16 orang masuk ke sini. Belum
lagi masih ada barang-barang yang jumlahnya seabrek. Akhirnya kami menggunakan
satu ruang penuh untuk meletakkan semua barang. Setiap koper ditaruh secara
mendatar, berjajar-jajar banyak sekali sampai ke pintu. Sedangkan ruang satunya
dan ruang tengah digunakan untuk tidur. Lalu ada dapur kecil di pojok ruangan.
Untungnya Bali tidak kesulitan air.
Keran di kamar mandi mengalir dengan deras, kami bisa mandi sepuasnya walau
harus menunggu giliran (bayangkan, hanya ada 1 kamar mandi untuk 16 orang).
Kamar mandi itu juga dipakai untuk mencuci piring dan mencuci baju. Tapi
sebagian besar anak memilih untuk memasukkan baju ke laundry.
Survey lokasi dan bertemu warga
Poin penting dari KKN adalah membaur
dengan warga lokal. Untungnya warga di sini ramah-ramah. Selama beberapa hari
terakhir, kami sudah melakukan observasi ke banjar (sebutan untuk RW di Bali).
Di Desa Medahan ada Banjar Anggar Kasih, Banjar Penulisan, dan Banjar Medahan.
Setiap banjar punya masalah dan kelebihannya sendiri. Misalnya saja, Banjar
Anggar Kasih unggul dalam bidang seni dan kegiatan pemuda. Tugas kami adalah
menangkap potensi-potensi mereka untuk dikembangkan.
Selama seminggu pertama di Bali, kami
ingin mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang lokasi KKN. Jadi kami tak hanya
melakukan observasi. Kami juga ikut dalam berbagai kegiatan sosial—karena di
desa, kegiatan seperti itu masih banyak. Misalnya saja kerja bakti, sosialisasi
di kantor kepala desa atau balai pemuda, dan sebagainya. Setiap acara bisa memberi
informasi dan kenalan baru. Ternyata, orang-orang Bali sangat suka bercerita.
Jadi kunci untuk akrab dengan mereka adalah menjadi pendengar yang baik.
Wisata sekitar desa KKN
Salah satu hiburan selama KKN adalah
jalan-jalan di sekitar lokasi. Kebetulan ada dua pantai di dekat pondok
Medahan: Pantai Masceti dan Pantai Cucukan. Jaraknya hanya sekitar 15 menit
kalau naik motor. Saya sudah mengunjungi keduanya. Saya suka Pantai Cucukan
karena terasa lebih lengang, sebab tidak ada bebatuan besar seperti di Pantai
Masceti. Pasirnya hitam dan ombaknya tidak terlalu besar. Namun tidak banyak
turis di sana. Kata teman saya, sekarang pembangunan pantai di Bali terfokus ke
daerah selatan, misalnya saja Jimbaran. Jadi pantai-pantai di wilayah lain kurang
mendapat perhatian.
Yang jelas, saya sangat senang karena
pantai-pantai itu mudah dijangkau. Tinggal naik motor dari pondok, berkendara
sepanjang desa, melewati jalan by pass,
dan lanjut lagi sebentar sampai ke pantai. Di sana udaranya segar. Angin
berhembus nikmat dan suara ombak seolah membelai-belai telinga. Di sana juga
ada yang menjual makanan dan minuman. Jadi kapanpun suntuk dengan kegiatan KKN,
saya bisa pergi sebentar ke pantai supaya gembira lagi.
Oh ya, saya belum bercerita tentang
kondisi sekitar. Desa Medahan yang saya tinggali sudah cukup maju. Tidak
kesulitan air, listrik, maupun sinyal. Rumah-rumahnya berjajar rapi dan dihiasi
ukiran khas Bali. Ada juga sejumlah pura untuk beribadah. Yang menyenangkan, di
sini ada banyak warung dan penjual bensin, jadi kami tidak kesulitan hidup.
Bahkan kalau pergi ke jalan by pass,
ada juga Indomaret dan Circle K. Namun saya masih belum terbiasa dengan perbedaan
zona waktunya. Waktu di Bali lebih cepat satu jam dari di Jogja. Di sini
matahari juga lebih lambat terbenam. Pukul 6 sore saja belum gelap, masih
terasa seperti pukul 4 sore.
Rencana tersembunyi
Sebagian orang punya rencana pribadi
saat KKN. Misalnya saja berwisata atau mencari jodoh. Saya pun punya dua
rencana pribadi. Pertama, saya ingin menikmati budaya dan kesenian di Bali
sepuas-puasnya. Bali memang salah satu pusat seni di Indonesia. Ada begitu
banyak sentral kesenian, acara budaya, bahkan atmosfernya pun terasa magis dan
berbeda. Maka saya membuat program khusus untuk dokumentasi seni. Rencananya,
saya dan partner akan datang dan mendokumentasikan acara-acara seni dan agama.
Kedua, kesempatan KKN ini saya
gunakan untuk memahami psikologis manusia secara langsung. Bayangkan saja,
setiap pondok dihuni belasan orang. Kami harus tinggal bersama selama hampir
dua bulan. Pasti ada gesekan dan permasalahan yang terjadi. Saat itulah saya
akan mengetahui sifat asli teman-teman. Begitu juga dengan hubungan
antarmereka. Bahkan sekarang pun, meski KKN baru berjalan beberapa hari, saya
sudah melihat sisi lain itu. Manusia memang makhluk yang unik. Menurut saya ini
sangat menarik untuk diamati.
Kebetulan anggota kelompok kami
beraneka ragam. Ada yang beragama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan
beberapa bahkan punya kepercayaan sendiri. Kami saling berbagi pengetahuan dan
bertoleransi. Begitu juga dengan daerah asal. Ada yang berasal dari Jawa,
Sumatra, Sulawesi, Bali, dan sebagainya. Budaya di setiap daerah tentu berbeda.
Menarik rasanya berkenalan dengan banyak orang dari berbagai latar belakang.
Pengalaman ini membuat mata saya lebih terbuka. Juga tentunya, memunculkan
ide-ide baru untuk ditulis.
Sampai sini dulu ceritanya. Semoga
KKN saya berjalan lancar!
0 comments