Memahami Cinta Beda Agama
Tuesday, October 04, 2016
Setiap orang punya keunikan, bagai
keping-keping puzzle yang menunggu disatukan.
Bisa menemukan pasangan yang cocok adalah hal luar biasa. Untunglah cinta mampu
menyatukan segala perbedaan. Termasuk perbedaan agama. Saya tak akan membahas
apakah itu benar atau salah. Juga tak akan membandingkan cinta pada manusia
dengan cinta pada Tuhan. Saya hanya ingin bercerita tentang cinta beda agama.
Photo by Nathan Dumlao on Unsplash |
Kebanyakan teman saya menghindari hal
itu. Sejak awal, mereka sengaja memilih pasangan yang satu iman. Tentu dengan
banyak pertimbangan masuk akal. Jadi kenapa ada orang-orang yang menjalani
hubungan beda agama? Apa alasannya, dan bagaimana cara mereka mempertahankan
hubungan? Kali ini saya akan berbagi cerita tentang pasangan beda agama. Mereka
adalah teman-teman saya dengan nama disamarkan.
Belum lama ini, saya mendapat
kesempatan tinggal di Bali selama dua bulan. Banyak kebudayaan setempat yang
bisa dipelajari. Salah satunya tentang memilih pasangan. Ternyata pernikahan di
Bali cukup rumit. Mayoritas penduduk beragama Hindu dan mencari pasangan yang
satu iman—dan kalau bisa, satu kasta. Ada empat kasta dalam agama Hindu: Brahmana,
Ksatria, Waisya, dan Sudra. Tingkatan atas cenderung lebih dihormati dan
punya kedudukan sosial yang tinggi. Meski sekarang sistemnya lebih terbuka,
sebagian masyarakat tetap menghindari pernikahan beda kasta.
Kebetulan saya punya teman perempuan
bernama Nyoman. Dia beragama Hindu dan menempati kasta tertinggi. Budaya di
keluarganya masih kental, mereka sering mengadakan berbagai upacara adat. Nyoman
diharapkan menikah dengan lelaki yang satu kasta. Sebab ada aturan: kalau
perempuan menikah dengan lelaki yang berkasta lebih rendah, maka kasta
perempuan itu akan turun mengikuti sang lelaki. Pokoknya kasta istri mengikuti
suami. Karena itulah Nyoman berhati-hati memilih pasangan. Namun suatu hari,
dia jatuh cinta pada Andre, teman saya yang lain. Andre beragama Kristen dan
tak punya kasta. Walau begitu mereka berpacaran.
Sejauh pengamatan saya, hubungan mereka
menarik. Nyoman dan Andre punya kepribadian yang bertolak belakang. Karena
lebih muda dua tahun, Nyoman cenderung lebih kekanak-kanakan. Dia juga galak,
jujur, dan apa adanya. Sedangkan Andre lebih lembut dan sabar. Dia sistematis
dan teratur, tapi kaku. Perpaduan itulah yang membuat mereka cocok. Saat Nyoman
marah, Andre bisa menenangkannya. Lalu saat Andre putus asa, Nyoman bisa
memompa semangatnya. Membangun hubungan memang membuat kita dewasa. Namun dalam
kasus mereka, Nyoman dan Andre mendapatkan sesuatu yang lebih.
Dalam keseharian, Nyoman taat
menjalankan ibadahnya. Dia rajin ke pura dan melakukan berbagai ritual agama. Sedangkan
Andre tidak terlalu. Setahu saya, dia jarang ke gereja. Mungkin dia punya cara
lain untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Nah, mereka berdua sudah pacaran cukup
lama dan mulai membicarakan pernikahan. Tentu terhalang perbedaan keyakinan.
Namun Andre bersedia pindah ke Hindu. Nyoman senang mendengarnya, tapi dia tetap
dibayangi keraguan. Sebagai orang berkasta tinggi, kalau menikah dengan orang
yang aslinya non-Hindu, dia akan menerima sanksi sosial dari keluarga besarnya,
seperti dikucilkan.
Andre pun menghadapi masalah. Walau
sudah menyanggupi pindah agama, pada kenyataannya hal itu tak mudah dilakukan. Mungkin
dia akan dihalangi oleh keluarganya. Atau mungkin sulit menyesuaikan diri
dengan keyakinan baru. Namun setahu saya, Andre serius mempelajari agama Hindu.
Dia berusaha belajar tentang sistem kasta, sejarah, nama-nama, sampai bahasa
Bali. Kami pun pernah menemani Nyoman beribadah di pura. Saat itu saya hanya
memakai kain bawahan seadanya, sedangkan Andre memakai atribut lengkap dari
kepala sampai kaki.
Sebenarnya Nyoman pernah bercerita.
Ada kemungkinan, suatu saat keluarganya akan menjodohkan dia dengan lelaki lain
yang beragama Hindu dan sekasta. Tentu itu akan memudahkan segalanya. Dia tak
perlu turun kasta dan tak perlu dikucilkan. Namun dari pengamatan saya,
Nyoman masih ragu. Dia kelihatan sangat menyayangi Andre. Terlebih Andre mau
berkorban untuknya—bahkan sampai menemui keluarganya dan melewatkan liburan
bersama mereka.
Saat ini Nyoman dan Andre masih
bersama. Dengan toleransi yang kuat, mereka bisa hidup berdampingan meski
berbeda agama, suku, dan budaya. Saya sungguh salut pada mereka. Sebab menjalin
hubungan beda agama tidaklah mudah. Dalam prosesnya, kita akan menghadapi
berbagai tantangan. Kita akan ragu pada diri sendiri, keluarga, pasangan, dan mungkin
pada agama juga. Rasanya campur aduk. Kadang menyenangkan, kadang menyakitkan.
Satu hal yang pasti, hubungan beda agama akan mendewasakan kita.
1 comments
Hanya satu pertanyaan, kenapa mereka bisa satu hati tapi tak bisa satu keyakinan? ��
ReplyDelete