Perbedaan Bali dan Jogja dari Mata Mahasiswa KKN

Tuesday, June 28, 2016


Saya memasuki minggu kedua Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Bali. Ternyata, KKN berlangsung lebih cepat dari yang saya bayangkan. Biasanya kami bekerja dari pagi sampai siang, lalu sore diisi dengan kegiatan nonprogram seperti kerja bakti, kumpul dengan pemuda setempat, atau lainnya. Kemudian malam digunakan untuk rapat.

Nah, di sela-sela kegiatan, saya menyempatkan diri untuk mengamati kondisi Bali. Ada banyak hal yang berbeda. Mulai dari makanan, peliharaan, tempat ibadah, bahasa, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan itu membuat saya sangat senang. Begitu banyak hal berbeda, begitu banyak keharusan untuk beradaptasi. Saya dan teman-teman belajar menjadi minoritas dan itu adalah pengalaman yang berharga.

Berdasarkan pengamatan saya, inilah perbedaan antara Bali dan Jogja:

#1 Perbedaan waktu, Bali lebih cepat 1 jam

Zona waktu Bali adalah WITA (Waktu Indonesia Tengah), sedangkan Jogja adalah WIB (Waktu Indonesia Barat). Jadi waktu di Bali lebih cepat 1 jam dari Jogja. Dulu saat pertama kali sampai di Bali, tubuh saya belum bisa beradaptasi. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam tapi rasanya belum mengantuk, sebab jam biologis saya mengira masih pukul 10 malam. Tapi lama-lama tubuh saya bisa menyesuaikan diri.

Perbedaan waktu ini membuat matahari terbenam lebih lambat. Biasanya, langit di Bali baru gelap saat malam. Pukul 6 sore di Bali masih terang seperti pukul 3 sore di Jogja. Jadi saat awal-awal sampai di Bali, saya kesulitan menentukan waktu—harus mengecek jam, tidak bisa kalau hanya melihat langit. Ini mengingatkan saya saat dulu ke Singapura. Di sana, pukul 7 malam saja langit masih terang-benderang. 

#2 Banyak makanan yang terbuat dari babi, tapi sapi jarang

Sebagian besar penduduk Bali adalah umat Hindu. Mereka tidak mengharamkan babi, tapi menurut mereka sapi adalah hewan suci. Jadi mereka tidak makan sapi. Biasanya warung-warung di sini hanya menjual babi, ayam, kambing, dan ikan. Harganya cukup murah. Di desa saya, nasi campur babi dijual seharga 8 ribu. Isinya nasi, semur daging babi, sate ayam, mie goreng, dan semacam sosis. Bentuknya saja yang seperti sosis, tapi isinya adalah potongan lemak babi.

Saya pernah melihat sapi-sapi yang digembalakan di lapangan rumput. Kulit mereka cokelat muda, bersih dan tampak lembut, kelihatannya dirawat dengan baik. Kata teman saya, sapi-sapi di sini dipelihara hanya untuk diambil susunya. Kadang saya kangen makan daging sapi. Ada warung makan padang di dekat pondok KKN—itu berarti ada rendang, tapi saya belum tahu terbuat dari daging apa.

#3 Pura ada di mana-mana, sedangkan tempat ibadah lain lebih sedikit

Pertama kali sampai di Bali, saya kagum karena banyak sekali bangunan berhias ukiran. Ada yang sederhana, ada juga yang mewah. Di antara bangunan berukir itu, sebagian di antaranya adalah pura. Bahkan ada juga pura tepat di sebelah pondok KKN saya. Besok mereka akan mengadakan acara odalan (perayaan ulang tahun pura) dan pagerwesi (upacara adat untuk memagari hati dari keburukan). Rencananya, kami akan mendokumentasikan kegiatan-kegiatan itu.

Sebelumnya saya sudah pernah ke pura saat Hari Raya Saraswati (25/6). Saya dan teman-teman yang perempuan memakai kain untuk bawahan dan melilitkan selendang di pinggang. Kalau tidak begitu, tidak boleh masuk pura. Perempuan yang sedang menstruasi juga dilarang masuk. Sedangkan untuk laki-laki, mereka memakai kain bawahan dan ikat kepala yang disebut udeng.

#4 Lebih banyak anjing daripada kucing

Banyak sekali kucing berkeliaran di Jogja. Tapi saat di Bali, jumlah kucing yang saya lihat bisa dihitung dengan jari. Lebih banyak anjing di sini. Ada berbagai anjing dengan berbagai jenis—kebanyakan terlihat rapi dan bagus terawat. Mereka berkeliaran di jalan dan sesekali menggonggong, tapi tidak ada yang mengejar saya apalagi menggigit. Anjing-anjing yang saya lihat tampak bersahabat.

Begitulah perbedaan antara Bali dan Jogja. Sebetulnya masih banyak perbedaan-perbedaan lain, misalnya saja bahasa. Istilah penting yang sering saya pakai adalah om swastyastu (salam dalam bahasa Bali), suksma (terima kasih), dan ngiring (permisi). Saya harap bisa mempelajari berbagai hal-hal baru lagi di sini. 

You Might Also Like

0 comments