Lebaran dan Hidup Beda Agama

Thursday, July 07, 2016


Lebaran kali ini spesial. Saya melewatkannya di Bali bersama teman-teman KKN (Kuliah Kerja Nyata). Mayoritas penduduk di sini beragama Hindu, jadi umat Islamnya sedikit. Selama bulan puasa, tidak ada tuh yang berjualan takjil, warung makan juga buka seperti biasa. Bahkan di desa tempat kami tinggal tidak ada masjid. Kalau mau salat di masjid, harus pergi ke kota yang jaraknya sekitar 15 menit naik motor. Tidak ada azan. Tidak ada takbiran. Lebaran kali ini hampir tak terasa seperti Lebaran, tapi bagi saya Lebaran kali ini spesial. Sebab saya melewatkannya bersama teman-teman yang agamanya beragam.

Di kelompok KKN saya, ada 31 orang yang memeluk berbagai agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha—bahkan ada beberapa orang yang punya keyakinan sendiri. Untungnya kami bisa bertoleransi. Saya suka memerhatikan teman-teman saat mereka beribadah. Misalnya saja yang muslim, mereka tetap berpuasa sekalipun kegiatan KKN kami cukup berat: kepanasan, kecapekan, banyak godaan, dan sebagainya. Saat hari Jumat, biasanya yang cowok akan pergi salat jumat ke masjid kota yang cukup jauh. Lalu saat Lebaran, mereka pergi salat ied bersama.

Lalu ada teman-teman saya yang Hindu. Mereka semua berasal dari Bali. Kalau umat Islam sembahyang 5 kali sehari, umat Hindu sembahyang 3 kali sehari walaupun tidak wajib (kalau tidak salah setiap pukul 6 pagi, 12 siang, dan 6 sore). Setiap tiga waktu itu, biasanya terdengar doa Hindu dari pengeras suara di toko-toko atau jalan. Mereka juga punya kebiasaan untuk nge-banten, yaitu berdoa sambil menaruh sesaji di berbagai titik di sekitar tempat tinggal. Sesaji ini terdiri dari bunga-bungaan dan dupa, kadang juga disertai biskuit.

Di pondok tempat tinggal saya, ada 12 titik yang harus diberi sesaji. Ada yang di dalam rumah, di halaman, di depan pagar, juga di beberapa titik di sekitar rumah. Proses ini diawali dengan memakai kamen (kain bawahan) dan selendang. Lalu sesaji ditaruh satu per satu di berbagai titik. Setelah dupa dinyalakan, teman saya mengayun-ayunkan tangannya supaya kena asap dupa, lalu berdoa. Budaya nge-banten dilakukan minimal sekali sehari. Tujuannya untuk menghormati “penunggu” di tempat itu.

Selama di Bali, saya beberapa kali menyaksikan ibadah di pura. Bahkan saya pernah ikut sembahyang saat upacara odalan (hari ulang tahun pura). Saat sembahyang, kami melakukan beberapa sesi doa singkat sambil menjumput bunga. Kami juga diciprati air dan diminta untuk minum air dari guci yang dituang langsung. Lalu kami diberi beras untuk ditempelkan di dahi dan leher. Saya belum tahu apa tujuannya, mungkin sebagai tanda kalau sudah sembahyang.

Selain Islam dan Hindu, ada juga teman-teman saya yang memeluk agama Katolik dan Kristen. Biasanya mereka ke gereja bersama saat Minggu pagi. Mereka juga sudah menjalin hubungan dengan romo setempat, dan sesekali diundang makan oleh beliau. Terkadang mereka bercerita pada saya tentang agama masing-masing. Ternyata, memang banyak persamaan antara agama Katolik, Kristen, dan Islam. Misalnya saja sejarah tentang Nabi Musa yang membelah Laut Merah.

Juga ada teman saya yang beragama Buddha. Dia pernah bercerita, katanya umat Buddha beribadah seminggu sekali, biasanya saat hari Minggu. Saya paling tertarik pada ceritanya tentang ajaran agama Buddha: “baik dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan”. Kedengarannya memang sangat simpel. Tapi kalau diterapkan, saya yakin ajaran itu bisa membuat pemeluknya hidup dengan damai. Kebetulan teman saya yang Buddha ini memang berwatak optimis, dia baik hati dan banyak tersenyum.

Dengan beragamnya agama di kelompok kami, hari demi hari pun berlalu. Tak terasa bulan puasa hampir selesai. Beberapa hari menjelang Lebaran, kami mendiskusikan cara untuk merayakannya. Akhirnya kami sepakat untuk masak sendiri. Menunya adalah ketupat, opor ayam, sambal goreng kentang, dan berbagai soft drink. Proses memasak dilakukan sehari sebelumnya. Ada seorang teman yang jago memasak, dia mengkomando kami untuk berbelanja, memotong-motong bahan mentah, memasak, sampai menghidangkannya.

Saat Lebaran tiba, kami membawa masakan-masakan itu ke kantor kepala desa. Lantas menyantapnya bersama kepala desa dan beberapa kepala banjar (sebutan untuk RW). Saya dan teman-teman berpakaian dengan rapi. Dalam kesempatan ini, ada satu teman yang memakai kerudung—cukup aneh juga, sebab saya jarang melihat perempuan berkerudung di Bali. Acara Lebaran dimulai dengan berdoa singkat, makan-makan, lalu berfoto bersama (fotonya saya gunakan untuk melengkapi tulisan ini).

Singkat kata, Lebaran saya kali ini cukup unik. Banyak hal yang tidak ada, seperti tempat salat ied yang dekat rumah, sanak keluarga dan THR, juga atmosfer berlebaran itu sendiri. Bahkan di sepanjang jalanan Bali, jumlah spanduk bertuliskan “Selamat Hari Raya Idul Fitri” bisa dihitung dengan jari. Di supermarket memang ada etalase khusus Ramadhan, tapi isinya bukanlah kurma, nastar, atau parsel—melainkan kebutuhan biasa seperti mentega dan sabun cuci. Tak heran beberapa teman saya yang muslim mengalami home sick menjelang Lebaran. Namun saya bersyukur karena kami bisa melewatkan Lebaran ini bersama-sama. 

You Might Also Like

2 comments

  1. Seru banget ya... Selamat lebaran di kampung orang. Maaf lahir batin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Mas, mohon maaf lahir dan batin juga :)

      Delete