Kita Bahkan Tak Bisa Bicara dalam Mimpi

Saturday, June 18, 2016


Sekitar setahun lalu, saya tertegun membaca kalimat yang ditulis entah siapa. Itu kalimat yang ada di buku milik organisasi saya. Buku itu disediakan khusus untuk curhat, siapapun yang punya uneg-uneg bisa menuliskannya di sana. Cukup banyak yang mengisi. Di antara curhatan, puisi, gambar, dan coretan lainnya, saya menemukan sebuah kalimat: kita bahkan tak bisa bicara dalam mimpi.

Ada seseorang yang menuliskannya di sana. Tanpa identitas, tanpa keterangan lain. Hanya satu kalimat itu saja: kita bahkan tak bisa bicara dalam mimpi. Saya jadi bertanya-tanya siapa yang menulisnya. Lebih penasaran lagi, kenapa dia menulis kalimat itu? Apakah dia menemukannya dalam buku atau film? Atau memang lahir dari perasaannya? Jangan-jangan, si penulis punya orang yang ingin diajak bicara. Namun dia tak bisa melakukannya, entah karena apa.

Photo by Ann Danilina on Unsplash
Kedengarannya memang lucu. Di zaman canggih seperti ini, komunikasi adalah hal yang mudah. Banyak orang punya ponsel. Akses internet sudah ada di mana-mana. Bahkan kalau mau pakai cara tradisional, berkirim surat misalnya, masih bisa. Namun apa memang semudah itu? Tidak. Saat berkomunikasi, tak hanya fasilitas yang penting. Berbicara juga melibatkan hati, perasaan, dan tentu saja: hubungan.

Ada beberapa alasan yang membuat dua orang berhenti bicara. Pertama, karena bermusuhan. Amarah bisa menghancurkan hubungan yang paling erat sekalipun. Kedua, karena ada masalah yang tak diselesaikan. Biasanya salah satu pihak jadi sungkan atau takut menghubungi lagi. Ketiga, karena putus cinta. Sebagian orang berpikir bahwa putus cinta berarti putus segalanya. Keempat, karena terpisah jarak. Kadang kepedulian tak cukup kuat untuk mempertahankan komunikasi. Lalu masih ada alasan kelima, keenam, ketujuh, dan seterusnya.

Alasan-alasan itu membuat kita terperangkap. Seolah bicara langsung adalah hal yang mustahil, sampai-sampai kita mengandalkan dimensi mimpi. Padahal bertemu dalam mimpi pun tak enak. Barangkali kau pernah mengalaminya. Suatu malam kau tertidur. Lantas kau berpindah ke alam mimpi. Dalam dimensi itu, kau bertemu seseorang—dia yang sangat kau rindukan. Namun kau tak bisa bicara. Kau tak bisa menyentuhnya. Kalian hanya berpandangan dengan jarak yang membentang.

Tiba-tiba kau tersentak bangun. Tersadar. Kembali dalam kegelapan kamarmu. Sebuah kesadaran langsung menghantam dirimu: kau sudah kehilangan. Perlahan tapi pasti rasa hampa menjalar dalam dirimu. Meninggalkan sobekan besar di dada. Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bertahun-tahun kemudian, kau akan sibuk menjahit sobekan itu, walau hasilnya tak bisa kembali utuh.

Jadi bukankah lebih baik bicara langsung? Tak perlu segan. Kita hanya membutuhkan satu panggilan telepon, satu pesan singkat, atau sapaan ringan saat berjumpa. Daripada kelak menyesal. Esok hari, mungkin orang yang ingin kita ajak bicara sudah tak ada. Bisa saja dia meninggal. Pergi selama-lamanya. Tanpa ada kesempatan mengucapkan selamat tinggal.

Orang yang ingin saya ajak bicara sudah jadi abu. Bahkan tulang belulangnya sudah tak ada. Dia memang sudah pergi. Selamanya. Suatu malam, akhirnya kami bisa bertemu dalam mimpi. Saya melihatnya tersenyum. Menampakkan ekspresi bahagia. Namun saya tak bisa melakukan apa pun, dan tiba-tiba tersentak bangun. Kembali ke kamar yang masih terang benderang. Laptop di dekat saya masih terbuka, dengan layar yang gelap gulita. Saat menatap layar itu, saya melihat dua bayangan terpantul. Satu bayangan saya, dan satu lagi bayangan... entahlah.

Saya langsung menoleh ke belakang. Tak ada siapa-siapa. Tanpa melihat ke layar lagi, saya menutup laptop. Mungkin tadi salah lihat. Mungkin hanya imajinasi. Atau mungkin memang benar… orang yang saya temui dalam mimpi, telah menemui saya di dunia nyata.

You Might Also Like

0 comments