Senyuman yang Merobek Wajahmu

Friday, June 17, 2016


Saya selalu penasaran pada orang yang murah senyum. Biasanya ada alasan tertentu yang membuat mereka seperti itu. Misalnya untuk menutupi masalah, untuk mengelabui orang, atau simpel saja: mereka mudah bersyukur dan bahagia. Saya sendiri sering tersenyum. Saking seringnya, teman-teman berkomentar bahwa saya hanya punya dua ekspresi: senang dan datar.

Photo by Sydney Sims on Unsplash
Awalnya saya tersenyum untuk menyenangkan orang tua. Dengan lima anak yang umurnya berdekatan, pasti mereka capek. Jadi sejak kecil saya berusaha tenang dan tak merepotkan. Lebih baik senyum daripada ribut. Ternyata, orang tua merasa damai kalau melihat senyuman saya. Maka saya pun berusaha lebih sering melakukannya.

Saat beranjak remaja, saya mulai mengalami masalah. Tubuh saya berubah. Tuntutan sekolah makin banyak. Saya mulai mengenal cinta dan patah hati. Berbagai problem itu membuat perasaan campur aduk. Ada kalanya saya ingin berteriak marah, menangis meraung-raung, atau menyumpah. Tapi saya ingin tetap stabil. Jadi daripada meluapkan emosi, saya memilih untuk tersenyum. Pada masa itu saya rajin tersenyum supaya orang-orang tidak khawatir.

Tahun demi tahun berlalu. Saya mulai memasuki dunia kampus dan berinteraksi dengan banyak orang dewasa. Ternyata, orang-orang dewasa gemar tersenyum. Padahal hidup mereka berat. Setiap hari harus menghadapi rutinitas, mencari uang, juga dibebani begitu banyak tanggung jawab. Lalu saya sadar, mereka tersenyum karena mereka kuat. Senyuman itu adalah simbol kesabaran, rasa percaya diri, dan syukur. Lantas saya mulai tersenyum dengan alasan yang sama.

Dari pengalaman saya, bisa ditarik kesimpulan kalau ada banyak alasan untuk tersenyum. Kadang kita melakukannya untuk orang lain. Kadang untuk menguatkan diri sendiri. Kadang untuk kebaikan, bisa juga untuk kebohongan. Tersenyum memang tak selamanya baik. Ada kalanya kebiasaan itu justru merugikan kita, sebab menutupi perasaan yang sebenarnya. Kadang jati diri pun tersembunyi di balik topeng senyuman.

Secara tak sadar, mungkin kita kerap memakai topeng. Tujuannya untuk menyembunyikan perasaan yang asli. Barangkali karena takut ditanya-tanya. Atau perasaan kita tak sesuai dengan kondisi sekitar saat itu. Jadi lebih baik memakai topeng. Yang paling sering dipilih adalah topeng tersenyum, sebab cocok dengan banyak situasi. Orang-orang akan menganggap kita senang dan bahagia. Padahal kenyataannya tidak.

Sesekali ada teman saya yang memalsukan perasaannya. Dia berusaha terlihat bahagia dengan senyum tersungging di wajah. Padahal, senyum tak hanya tentang bibir yang terangkat. Senyum juga tentang mata yang bersinar, wajah yang berseri-seri, juga atmosfer senang yang jujur. Tanpa itu semua, senyuman terasa hampa. Namun orang yang sedang kacau tak akan menyadarinya. Mereka tak tahu kalau sembab di mata telah membocorkan rahasia, bahwa mereka melewatkan waktu dengan menangis. Mereka juga tak sadar kalau kerutan di dahi menandakan perasaan mengganjal—entah marah, entah sungkan.

Kadang kita memang memaksakan diri untuk tersenyum. Walaupun sulit, walaupun tidak ingin. Walaupun hal itu justru membuat kita tambah terluka. Sebab, senyum yang dipaksa akan terasa sakit—seolah-olah merobek wajah. Meninggalkan luka sayat yang panjang. Makin lebar senyumannya, makin lebar pula lukanya. Darah pun mulai menetes-netes. Barangkali bersamaan dengan air mata. Kalau sudah begitu, lebih baik berhenti tersenyum.

You Might Also Like

0 comments