Pendengar yang Rakus
Friday, January 13, 2017
Ayah saya adalah orang yang sangat
suka bicara. Beliau bisa ngobrol dengan siapapun. Entah dengan tetangga, tukang
becak, sampai penjual gorengan. Kadang yang dibicarakan tidak jelas. Mulai dari
kehidupan sehari-hari sampai wacana kesenian. Apa pun topiknya, beliau bisa bicara
dengan asyik. Suaranya dalam. Pilihan katanya cermat. Tak lupa memberi jeda
supaya kalimatnya lebih dramatis. Ayah saya memang ahli dalam berbicara. Beliau
mengajar public speaking di berbagai
lembaga. Juga menekuni teater selama bertahun-tahun. Tak heran pembawaannya
luwes. Apakah kemampuan itu menurun pada saya? Belum. Berbeda dengan Ayah, saya
tak banyak bicara. Lebih suka mendengarkan. Tak hanya itu, saya adalah
pendengar yang rakus.
Photo by Priscilla Du Preez 🇨🇦 on Unsplash |
Pembawaan ini tak lepas dari pengaruh
Ayah. Waktu saya masih SD, beliau selalu menjemput sepulang sekolah. Namun tak
langsung pulang ke rumah. Beliau kerap membawa saya ke pameran, bazar buku, atau
rumah teman-temannya. Salah satu teman karib Ayah bernama Om Asmoro. Rumahnya
tak jauh dari SD saya. Lumayan luas dan dicat hijau kusam. Tiap kali main ke
sana, Ayah akan mengobrol berjam-jam dengan Om Asmoro. Sementara saya diam saja
dan mendengarkan. Sesekali menyeruput hidangan—selalu secangkir teh yang sangat
panas. Kalau bosan, saya akan pindah ke teras. Duduk di kursi kayu sambil
mengamati halaman depan. Ada sebatang pohon yang besar. Juga barisan rumput
yang tumbuh tinggi tak terawat. Sambil melamun dan berkhayal, sayup-sayup saya mendengar
suara Ayah dari dalam.
Tahun demi tahun berlalu, saya tumbuh
ditemani suara Ayah. Kadang kami melewatkan waktu berdua. Beliau memberi banyak
nasihat—mulai dari pendidikan, hubungan dengan keluarga, sampai cara membedakan
aliran lukisan. Saya pun menyimaknya dengan sabar. Entah sejak kapan, saya jadi
terbiasa untuk mendengarkan orang. Tak hanya Ayah. Tapi juga teman, kerabat, penjual
soto, tukang parkir, sampai orang tak dikenal yang duduk bersebelahan di bus.
Kadang saya sendiri heran. Tiba-tiba mereka bercerita tanpa saya ajak bicara. Jadi
saya dengarkan saja sambil sesekali menanggapi. Entah bagaimana, pembicaraan
itu jadi mendalam. Terkadang kami bertukar kontak dan berhubungan lagi.
Setelah beranjak dewasa, saya sadar
kalau kejadian-kejadian itu bukanlah kebetulan. Namun tercipta karena saya suka
melakukannya. Ternyata, mendengarkan orang adalah kegiatan yang seru. Sebab
banyak manfaatnya. Saya jadi lebih dekat dengan orang itu secara
emosional. Juga bisa belajar dari berbagai pengalamannya. Yang paling penting, apa
pun yang diceritakan orang bisa jadi ide untuk menulis. Karena itulah saya suka
bertemu orang-orang, terutama kenalan baru. Saya lebih suka mengobrol dengan
satu atau dua orang saja. Bukan dalam grup besar. Sebab makin sedikit orangnya,
makin dalam pula obrolannya.
Saya sadar kalau kemampuan ini harus
diasah. Perlu banyak belajar supaya bisa mendengarkan dengan lebih baik. Untung
saya bergabung ke pers mahasiswa. Di sana, saya diajari untuk wawancara
berbagai jenis narasumber. Mulai dari pejabat kampus sampai penjual lotek. Ada
beberapa tips penting yang masih saya ingat. Pertama, kita harus membuat orang
merasa nyaman. Pilihlah tempat dan kondisi yang tepat. Kedua, kita tak boleh
memaksanya untuk bicara. Tak ada orang yang suka dipaksa—bisa-bisa dia malah
risih dan bungkam. Ketiga, kita tak boleh sombong dan sok pintar. Bersikaplah rendah
hati pada siapa saja. Keempat, jangan sampai kita terlihat terlalu bodoh. Tak
hanya mendengarkan, kita juga harus bisa menanggapi dengan baik. Semua ajaran
itu selalu saya ingat-ingat. Tak lupa belajar sendiri dari berbagai buku.
Selama bertahun-tahun, banyak sekali
cerita yang saya dengarkan dari berbagai orang. Yang datang pun bermacam-macam.
Mulai dari orang homo yang menutupi identitasnya, orang tak beragama yang
bingung dengan Tuhan, orang yang ingin berhenti dari dunia malam, juga banyak
lagi. Saya berusaha mendengarkan dengan serius. Sebab, tiap orang menanggung
beban yang tak kita sadari. Pasti lega kalau ada yang mau mendengarkan
ceritanya. Barangkali, saya memang belum bisa bicara sebaik Ayah. Jadi belum
mampu membagi banyak nasihat dan inspirasi. Namun, saya bisa mendengarkan. Semoga
itu membantu diri sendiri dan orang-orang lain.
0 comments