Evolusi Manusia dan Pertemanan Lewat Energi

Tuesday, January 03, 2017


Masa depan dan evolusi manusia selalu menimbulkan tanya. Seperti apa wujud manusia ratusan tahun lagi? Apakah kembali berbulu seperti monyet? Atau berubah jadi raksasa? Tak ada yang tahu sampai saatnya tiba. Namun rasanya asyik menebak-nebak. Beberapa tahun lalu, saya menonton acara kompetisi Jepang yang sangat menarik. Mereka berlomba mendandani orang. Riasan itu disesuaikan dengan imajinasi mereka tentang manusia di masa depan. Hasilnya pun beragam. Ada yang seperti monster dengan kulit tertutup bulatan kecil seluruhnya. Ada juga yang tetap berwujud manusia, tapi dengan nuansa keperakan.

Photo by Erik Mclean on Unsplash
Di antara berbagai dandanan itu, ada satu yang saya sukai. Konsep periasnya cukup unik. Masa depan dibayangkan sebagai ruang yang sepi dan lengang. Banyak bencana alam terjadi, bumi berubah kacau mirip zaman purba dulu. Sang perias mendadani modelnya seperti alien dengan ukuran kepala besar. Sebab, manusia jadi lebih pintar dan otaknya mengembang. Kulitnya pun berubah tebal untuk menghadapi iklim yang sangat dingin. Ratusan tahun lagi, pemanasan global membuat banyak daratan tertutup air. Manusia jadi punya insang dan sisik untuk berenang ke mana-mana. Poin yang paling menarik: mereka berkomunikasi lewat mata dan telepati. Tak ada lagi yang bicara. Semua komunikasi dilakukan lewat gelombang yang dikirim udara. Wow!

Dengan evolusi itu, wujud manusia lebih seragam. Tak ada lagi yang berhidung mancung atau pesek—jangan-jangan hidung saja tak punya. Begitu juga dengan mata dan bibir. Pakaian dipilih seadanya. Tak ada yang repot-repot pakai make up. Barangkali yang berbeda hanya rambut dan postur tubuh. Bagaimana dengan kesenjangan sosial? Kita anggap saja tak ada yang miskin dan kaya. Semua manusia hidup susah karena bencana alam, tiap hari hanya berusaha bertahan hidup. Aneh juga. Tak ada perbedaan penampilan, kekayaan, dan kelas sosial. Kalau sudah begitu, apa tolak ukur satu-satunya untuk memilih teman? Energi. 

Disadari atau tidak, sebagian dari kita telah memilih teman berdasarkan energi. Yang saya maksud bukan energi untuk bergerak dan beraktivitas. Melainkan energi yang tersimpan dalam hati setiap orang. Ada yang baik dan buruk. Tak perlu menunggu evolusi untuk merasakannya. Dari sekarang pun—kalau kita peka—energi bisa dirasakan dengan jelas. Ada orang yang mengembuskan energi positif. Itu karena memelihara sifat, kebiasaan, dan cara berpikir yang baik. Berada di dekatnya selalu menyenangkan. Namun ada juga yang menyemburkan energi negatif. Penyebab utamanya adalah racun yang bercokol di pikiran. Dengan ganas, racun itu menyebar ke seluruh tubuh dan perilakunya sehari-hari. Orang di sekitarnya jadi tak nyaman.

Apa energi manusia terbatas pada dua pilihan? Baik dan buruk saja? Tentu tidak. Jenis energi itu banyak sekali, berbeda untuk setiap orang. Ada yang samar-samar. Ada juga yang energi aslinya tertutup energi lain. Karena itulah, kita harus peka saat mengamatinya. Namun kadang kita tidak memerhatikan energi. Sebab lebih tertarik pada hal-hal yang kasatmata. Seperti penampilan, kekayaan, status sosial, dan sebagainya. Padahal yang seperti itu kadang menipu. Dugaan dan prasangka membuat kita buta.

Tolak ukur yang paling jelas adalah penampilan. Kita bisa berprasangka macam-macam dari penampilan seseorang. Misalnya saja, gondrong disebut urakan. Bercadar dituduh teroris. Gendut disangka malas. Sangat tidak adil kan? Padahal, orang yang luarnya baik belum tentu dalamnya juga seperti itu. Banyak teman saya yang membuktikannya. Ada yang kelihatannya tak pernah macam-macam, padahal sebenarnya hacker jagoan. Ada juga yang tampak bertanggung jawab, padahal hobinya menggelapkan uang. Belum puas? Ada teman yang terlihat sangat polos—padahal dia pencandu seks dan suka “main” ke mana-mana. Kadang teman saya yang bertato, kumal, dan suka mabuk malah lebih setia kawan. Penampilan bisa menipu.

Karena itulah, saya tak memilih teman lewat penampilan. Begitu juga lewat kekayaan. Saya tak peduli pada isi dompetnya—saya lebih peduli pada isi otak dan hatinya. Selama ini saya memilih teman berdasarkan energi. Caranya mudah sekali, cukup amati reaksi alami kita saat bertemu seseorang. Kemungkinan pertama, kita akan merasa cepat lelah. Padahal hanya duduk dan mengobrol ringan, tapi energi dan emosi kita terkuras habis. Berarti orang itu punya energi yang buruk. Aliran negatifnya menular pada kita. Kemungkinan kedua, kita merasa senang saat bersama seseorang. Padahal melakukan banyak aktivitas berat. Namun entah kenapa, berada di dekatnya membuat kita semangat dan merasa berharga. Itulah efek dari energi positif.

Seperti yang saya katakan tadi, tak semua energi terasa jelas. Ada yang samar-samar. Tipis. Tak disadari. Itu berarti energi aslinya tertutup. Entah oleh masa lalu, trauma, atau depresi. Mereka butuh bantuan untuk menyadarinya. Bisa dengan dorongan dan tantangan. Atau cukup dengan telinga yang siap mendengarkan. Tak ada yang lebih melegakan selain dipahami. Karena itu, mari kita berbagi perhatian dan energi baik.

You Might Also Like

0 comments