Sampai Kapan Mau Bertepuk Sebelah Tangan?

Thursday, January 12, 2017


Jatuh cinta itu menyenangkan. Ada yang membuat hati kita berbunga-bunga. Mendadak dunia tampak lebih indah. Namun, bagaimana kalau kita bertepuk sebelah tangan? Yang terjadi justru sebaliknya. Dunia terasa suram. Tiap hari sedih mengharapkan seseorang. Cinta semacam ini punya sisi negatif dan positif. Apakah negatif berarti buruk, lalu positif berarti baik? Belum tentu. Yang penting bisa mengambil pelajaran dalam kondisi apa pun. Kali ini, saya akan membahas cinta dari dua sudut pandang yang berbeda.

Photo by arash payam on Unsplash
Sisi negatif: bertepuk sebelah tangan itu hanya membuang-buang waktu. Kita juga menderita. Lebih baik nembak dan ditolak, atau langsung pergi saja

Saat jatuh cinta, kita bagai kecanduan pada seseorang. Tiap hari stalking media sosial. Mengintip foto-foto lawas dengan berbagai komentar. Kadang bertanya langsung pada temannya. Mulai dari hobi, makanan kesukaan, sampai jumlah mantan. Informasi itu dipakai untuk mendekati sang gebetan. Sambil deg-degan, kita pun mengirim banyak pesan padanya. Namun, ternyata dia jarang memberi respons. Kita pun gelisah memikirkan dia. Tahukah kamu, berapa banyak waktu yang dilewatkan untuk melakukan itu semua? Anggap saja 3 jam per hari. Kalau seminggu, berarti 3 jam x 7 hari = 21 jam. Hampir sehari penuh! Hanya untuk bertepuk sebelah tangan! Bayangkan kalau dipakai untuk olahraga, belajar, atau berkarya. Pasti lebih bermanfaat.

Karena itulah saya tak suka bertepuk sebelah tangan. Saat remaja memang asyik. Rasanya seperti berada dalam novel romantis. Namun saat beranjak dewasa, saya sadar kalau itu membuat diri sendiri merana dan kehilangan banyak waktu. Jadi sebisa mungkin menghindarinya. Ada dua cara simpel. Pertama, sebaiknya kita tak jatuh cinta pada tipe ini: orang yang sudah punya pacar (karena tak bisa dimiliki), orang yang baru putus (karena mentalnya tidak stabil, bisa-bisa kita hanya dijadikan pelampiasan), dan orang yang playboy/playgirl (karena kita bisa diduakan). Tapi perasaan manusia kan susah dikontrol. Bagaimana kalau telanjur jatuh cinta padanya? Tenang, tinggal lanjut ke cara selanjutnya. Supaya tak kelamaan memendam rasa, nyatakan saja perasaan kita padanya. Ada dua kemungkinan: diterima dan pacaran, atau ditolak dan nyesek. Keduanya sama-sama mengakhiri penantian.

Saya sendiri lebih suka ditolak daripada bertepuk sebelah tangan. Faktanya, saya memang pernah nembak dan ditolak. Itu terjadi bertahun-tahun lalu. Saya naksir pada seorang teman dekat. Perasaan itu tampaknya akan bertahan lama. Padahal, kalau dilihat dari berbagai sisi, kemungkinan kami untuk pacaran hanya 5-10%. Bagaimana kalau saya menunggu sambil berusaha? Kemungkinannya bisa naik, tapi paling-paling jadi 15-20%. Tak banyak perbedaan. Karena itu, saya nekat nembak padahal tahu bakal ditolak. Bagaimana hasilnya? Memang ditolak, dan saya jadi malu serta nyesek. Tapi perasaan itu hilang dalam beberapa hari. Lebih baik daripada memendam rasa selamanya, tanpa kejelasan dan penuh harap-harap cemas.

Perempuan tak lagi harus menunggu. Kalau tertarik pada lelaki, kita bisa mendekatinya duluan. Tapi harus ekstra hati-hati. Sebab, kebanyakan lelaki tak suka dikejar—mereka lebih suka mengejar. Kita mesti tahu kapan harus memberi pancingan, kapan harus aktif, dan kapan harus mundur. Cara ini butuh kepekaan dan pengalaman. Yang paling penting adalah keberanian. Saya sih langsung saja. Kalau kangen, tinggal bilang. Kalau mau ngobrol, tinggal kirim pesan. Kalau mau ketemu, tinggal ajak main. Tak perlu kelamaan galau. Bagaimana kalau dia tak merespons? Lupakan saja dan cari yang lain. Yang penting sudah berusaha.

Sisi positif: bertepuk sebelah tangan membuat kita semangat. Berkat dia, kita terpacu untuk terus memperbaiki diri

Kali ini giliran kisah teman saya. Sebut saja Linda. Dia adalah perempuan yang pemalu, terutama saat jatuh cinta. Berbeda dengan saya, hobinya adalah bertepuk sebelah tangan. Dia merasa semangat saat menyukai seseorang. Dunia jadi lebih indah dan menyenangkan. Suatu hari, Linda naksir pada orang satu fakultas—sebut saja Tian. Mereka tak saling kenal. Linda hanya pernah melihatnya saat mengikuti kuliah yang sama. Awalnya dia tertarik pada penampilan fisik Tian. Setelah stalking media sosial, Linda jadi tahu kalau Tian adalah lelaki yang pintar dan punya kepribadian menarik. Dia makin jatuh cinta. Namun tak melakukan kontak langsung dengan cara apa pun. Tiap hari hanya berharap bisa berpapasan di kampus. Lalu bagaimana kalau sudah berpapasan? Linda diam saja. Begitu terus.

Saya dan beberapa teman pun merasa gemas. Kami mendorong Linda untuk berkenalan dengan Tian. Ada 1001 cara untuk memulai pembicaraan, tinggal pilih salah satu. Namun Linda tak mau. Dia sudah puas hanya dengan melihat Tian. Awalnya saya biarkan saja—toh dia terlihat bahagia. Namun lama-lama, saya sadar kalau Linda tersiksa oleh perasaannya. Dia kebanyakan galau. Ingin tahu lebih banyak, tapi hanya bisa stalking. Sedih kalau membaca pembicaraan Tian dengan perempuan lain. Dia jadi bertanya-tanya, apakah Tian sudah naksir seseorang? Pikiran itu membuatnya gelisah. Saya jadi ingin membantu Linda. Tapi harus hati-hati, kalau tidak dia akan risih dan mundur.

Suatu hari, kesempatan itu datang. Saya sedang belanja di swalayan kampus. Ternyata, Tian bekerja sambilan di sana! Dia memakai kemeja putih dan celana hitam. Sedang berjaga di bagian alat tulis. Saat itu saya belum mengenalnya. Jadi saya hampiri konter itu dan membeli beberapa pensil. Saat Tian menulis nota, saya pun basi-basi, “Mas, kayaknya kita pernah ketemu ya? Bukannya kita satu fakultas?” Tian pun mengangguk dan pembicaraan itu berlanjut. Ujung-ujungnya saya minta nomer HP-nya, dengan alasan ada teman yang mau tanya tentang cara bekerja di sana. Tian pun memberi begitu saja. Dengan gembira, saya pulang dan langsung menghubungi Linda. Tak lupa memberikan nomor itu. Linda tinggal mengontak Tian dan bertanya apa saja. Namun, apakah Linda melakukannya? Tidak. Dia merasa tak perlu. Arggghhhh!!!

Waktu pun berlalu dan Linda tetap bertepuk sebelah tangan. Saya tak berusaha membantunya lagi—sepertinya dia memang tak butuh. Sudah senang hanya dengan melihat Tian. Memerhatikannya dari jauh. Membahasnya dengan saya dan teman-teman. Bagi Linda, itu membawa kebahagiaan dalam hidupnya. Dia jadi lebih semangat ke kampus. Berdandan lebih niat dan memilih pakaian dengan cermat. Tak terasa tahun demi tahun berlalu, sekarang Linda sudah tak menyukai Tian. Cintanya selesai tanpa ada kontak langsung. Tak perlu repot-repot mendekati, nembak, apalagi ditolak. Bagi sebagian orang, itu sudah cukup. Yang penting menghayati cinta sampai usai.

You Might Also Like

1 comments

  1. Postingan yg menarik. mencintai dalam diam ya itu yg dilakukan Linda..
    emang lebih baik diungkapkan.
    Salam kenal mbak.
    - Arif Syahertian

    ReplyDelete