Mesin Waktu yang Menganga di Antara Kita

Sunday, April 10, 2016


Dulu saya membayangkan mesin waktu sebagai benda berbentuk aneh. Terbuat dari besi dengan serangkaian tombol. Kalau tombol itu dipencet, kita akan menjadi penjelajah waktu. Entah ke masa depan yang tak pasti atau masa lalu yang sudah lama terkubur. Namun lama-kelamaan persepsi saya tentang mesin waktu berubah. Kini saya justru melihat mesin waktu di mana-mana, dalam berbagai bentuk sederhana, hadir namun tak disadari.

Photo by Anirudh on Unsplash
Mesin waktu bisa berupa apa saja. Mungkin ia adalah foto yang merekam berbagai momen. Atau musik yang mengingatkan kita pada sesuatu. Bisa juga berupa film, gambar, atau yang paling sukai: tulisan. Bagi saya mesin waktu adalah kumpulan kata. Setiap kali membacanya, seolah saya terlempar melewati dimensi waktu. Kembali berpijak pada masa lalu. Karena itulah saya menulis. Saya ingin merekam berbagai momen dalam hidup untuk dihayati pelan-pelan, barangkali sambil menghirup secangkir teh.

Kebiasaan menulis saya dimulai sejak SD. Saya terpancing setelah membaca buku harian anak-anak semasa perang. Salah satunya adalah Buku Harian Zlata (1994). Buku ini merekam ingatan sang penulis, Zlata, yang harus menghadapi perang di Bosnia dalam usia sangat muda. Ia kehilangan banyak kesenangan dan harus menyaksikan banyak kematian. Berbagai masalah pun muncul, seperti bahan makanan yang jadi langka, juga sambungan air dan listrik yang sering putus. Namun untungnya perang itu pun berakhir. Kehidupan Zlata berangsur-angsur membaik.

Kisah Zlata tak semalang kisah Anne Frank yang saya baca dalam Catatan Harian Anne Frank (2003). Anne adalah seorang remaja keturunan Yahudi. Selama dua tahun, ia hidup dalam persembunyian bersama keluarganya untuk menghindari serangan Nazi. Setiap hari ia dirundung ketakutan dan kecemasan. Belum lagi rasa muak karena terkurung bersama banyak orang di satu tempat. Namun pada akhirnya mereka semua tertangkap dan dibawa ke kamp konsentrasi. Di sanalah Anne menemui ajalnya.

Saat membaca buku harian Anne dan Zlata, saya belum genap berusia 10 tahun. Jadi saya belum paham betul kengerian di dalamnya. Saya justru menganggap kisah mereka sebagai petak umpet yang menegangkan. Sebab Anne dan keluarganya tinggal di gedung tersembunyi. Untuk masuk ke sana, kita harus menggeser sebuah rak buku agar jalan masuknya kelihatan. Saat itu saya juga belum paham kalau Anne adalah korban Holocaust, tragedi yang memakan korban sekitar enam juta penganut Yahudi. Yang saya pahami adalah, buku ini bagus untuk dibaca. Saya menyukainya.

Lalu saya terinspirasi untuk menulis buku harian sendiri. Saya memulainya sekitar kelas 5 SD. Media yang digunakan sederhana saja: pulpen dan buku tulis bergaris. Namun saya menulis dengan semangat. Mungkin itu pertama kalinya saya menulis dengan serius selain untuk tugas sekolah. Dengan cepat, lembar demi lembar kertas pun penuh tulisan. Saya bercerita tentang keluarga, teman, mimpi, dan kegiatan sehari-hari. Saya bahkan menamai buku harian saya entah apa (karena buku harian Anne Frank bernama Kitty, sedangkan punya Zlata bernama Mimmy).

Kebiasaan menulis buku harian masih saya lakukan sampai beberapa bulan lalu. Sayangnya sebagian besar dokumen sudah tak ada. Entah karena saya buang sendiri, hilang, atau terhapus. Namun saya masih punya dokumen tiga tahun terakhir. Terkadang saya baca kalau sedang kangen. Senang rasanya bisa menciptakan mesin waktu. Kapanpun ingin kembali, saya tinggal membaca tulisan sendiri.

Namun saya tak ingin sering-sering menjelajah waktu. Memang ada kalanya saya kagum pada masa lampau. Namun terkadang ada rasa kecewa, sedih, bahkan malu pada kenangan-kenangan itu. Saya kembali bukan untuk meraih semua yang sudah berlalu. Saya kembali hanya untuk menengok sekilas. Untuk melihat bahwa dulu saya pernah menghadapi banyak hal. Sesekali dengan tangguh, sesekali dengan tangan gemetaran. Rasanya jadi lebih berani untuk menghadapi masa kini dan masa depan.

You Might Also Like

0 comments