I Miss You Like I Miss My Home

Wednesday, June 15, 2016


Belum lama ini, saya menemukan sesuatu yang menarik di Instagram. Seorang kawan saya mengunggah foto dengan caption yang cukup panjang. Ini potongan pertamanya: I miss you like I miss my home. But sadly, you are no longer my home. Sepintas biasa saja. Namun saya merasa tertohok saat membacanya. Pertama, karena saya tahu kisah di balik foto teman saya itu. Kedua, karena saya pun mengganggap rumah tak hanya sekadar tempat, tapi juga orang-orang.

Photo by Andrew Neel on Unsplash
Mari kita mulai dari kisah teman saya. Dia lelaki yang baik dan berhati lembut. Belakangan ini dia dekat dengan seorang perempuan. Ternyata, teman saya bertepuk sebelah tangan pada perempuan itu. Lalu entah bagaimana, si perempuan justru menyukai orang lain, dan teman saya ditinggal begitu saja. Hubungan mereka berubah. Teman saya galau. Dia pun mengunggah foto tadi. Ini potongan kedua dari caption-nya: It's like someone took over you or you choose someone else to live inside you. Both of that reason actually hurt me. It makes me sick, honestly.

Saya tak tahu seperti apa hubungan mereka dulu. Yang jelas, teman saya menganggap perempuan tadi sebagai rumah. Menurut saya itu luar biasa. Sebab, rumah bukanlah sesuatu yang sepele. Rumah adalah hal yang dekat, erat, nyaris intim. Biasanya rumah dihubungkan dengan tempat. Namun tak semua tempat bisa dianggap rumah—bahkan bangunan yang kita tinggali sekalipun. Sebab rumah juga berkaitan dengan perasaan. Di mana kita merasa nyaman dan diterima, di situlah kita akan berpulang.

Maka ada orang yang merasa punya banyak rumah. Ada juga yang merasa tak punya rumah sama sekali. Bagaimana dengan saya? Sejak dulu saya ingin mencari rumah sebanyak mungkin. Rumah saya yang paling berharga—tentu saja—adalah tempat yang saya tinggali bersama keluarga. Saya juga menganggap sekolah, kampus, dan markas organisasi sebagai rumah. Biasanya saya bolak-balik ke sana begitu seringnya, beraktivitas bahkan saat libur, tidur dan menginap di sana, hingga tempat-tempat itu terasa seperti rumah betulan.

Namun rumah tak hanya sebatas tempat. Bagi saya, rumah juga tentang orang-orang. Ini tergantung pada tingkat kedekatan. Semakin dekat saya dengan seseorang, semakin mungkin saya menganggapnya sebagai rumah. Kadang indikator kedekatan ini tak jelas. Ada orang yang saya temui tiap hari dalam jangka waktu lama, tapi kami tidak dekat. Ada juga orang yang hanya saya temui sekali-kali, tapi hubungan kami sangat erat. Jadi yang penting bukanlah kuantitas bertemu, melainkan kualitas pertemuannya.

Lantas seperti apa kualitas yang dibutuhkan? Apa saya harus mengalami kejadian tertentu dengan seseorang, baru kemudian bisa menganggapnya rumah? Sepertinya begitu. Biasanya, saya merasa akrab dengan seseorang setelah kami menghadapi masalah bersama. Entah masalah kuliah, organisasi, atau lainnya. Sebab saat itu saya bisa melihat kepribadiannya yang asli. Tanpa topeng, tanpa kepura-puraan. Saat menghadapi masalah bersama, saya juga bisa melihat sikapnya: apakah dia mau memperjuangkan saya, atau pergi begitu saja.

Maka sungguh beruntung kalau kita punya orang-orang untuk berpulang. Itu berarti, kita selalu punya tempat tujuan. Tak peduli seburuk apa pun kondisi kita. Mereka pasti menunggu dan menerima. Kalau punya orang-orang seperti itu, jagalah dengan baik. Jangan sampai mereka pergi karena kesalahan kita. Namun sayangnya kita tak bisa mengontrol perasaan manusia. Sebaik apa pun kita memperlakukan mereka, kadang mereka tetap pergi. Meninggalkan kita. Berhenti menjadi rumah, berhenti menjadi tempat singgah.

Kehilangan rumah adalah sesuatu yang menyakitkan. Seperti pengalaman teman saya yang tadi diceritakan di awal tulisan. Dia telah kehilangan seseorang. Dia telah kehilangan rumah. Barangkali, butuh waktu cukup lama untuk menyembuhkan luka hatinya. Namun saya percaya kalau dia pasti bisa. Sebab dalam potongan caption yang terakhir, dia menulis seperti ini: I have to get up and build my new home.

You Might Also Like

3 comments