Black Swan dan Musibah yang Mengubah Hidup

Thursday, January 19, 2017


Musibah tak selamanya berdampak buruk. Kalau disikapi dengan baik, justru membawa anugerah dalam hidup kita. Tak percaya? Banyak yang sudah membuktikan. Kemarin, kakak saya—Mbak Seruni—berbagi cerita tentang orang-orang hebat yang dikenalnya. Mereka adalah sesama peserta meditasi di klenteng. Kebanyakan lelaki dan wanita paruh baya. Sudah keriput dan tak muda lagi. Namun tubuh mereka bugar. Wajah berseri-seri dan memancarkan kedamaian. Padahal, sebagian dari mereka menanggung hidup yang perih. Musibah besar pernah datang dan mengobrak-abrik segalanya. Hidup tak pernah sama lagi. 

Kelompok meditasi itu dipimpin oleh seorang lelaki tua. Sebut saja Pak Toni. Dalam suatu pertemuan, beliau bercerita tentang black swan. Yang dimaksud bukanlah film berjudul sama dengan bintang Natalie Portman. Melainkan black swan dalam arti harfiah, yaitu angsa hitam. Dulu seluruh orang mengira kalau hanya ada angsa putih di dunia. Hingga akhirnya, seorang penjelajah menemukan angsa hitam di Australia. Spesies itu ada—tapi tak seorang pun tahu kalau tak ada yang menemukannya. Seperti potensi yang tersembunyi.

Photo by wang binghua on Unsplash
Fenomena itu dijadikan teori black swan oleh Nassim Nicholas Taleb. Menurut Taleb, dalam hidup ini ada momen yang terjadi secara acak. Tampaknya nyaris mustahil. Tahu-tahu saja terjadi dan memberi efek besar pada manusia. Contohnya adalah peristiwa 11 September 2001 yang legendaris, yaitu peledakan gedung World Trade Center di New York. Serangan itu sangat tak terduga. Sebab, Amerika adalah negara yang kuat dan sulit disusupi teroris. Mungkin anggapan itu membuat pengawasan lemah. Saat musibah terjadi, masyarakat pun terguncang. Efeknya besar dan meluas. Pengamanan di Amerika pun diperketat.

Momen seperti itu bisa terjadi dalam keseharian. Bahkan Pak Toni—pemimpin meditasi tadi—pernah mengalaminya. Beliau mengalami cobaan yang mengubah hidup. Bertahun-tahun lalu, saat istrinya melahirkan, ternyata sang anak terlahir autis. Pertumbuhan fisiknya memang sama seperti anak-anak lain. Namun mentalnya tidak. Anak itu sulit berkomunikasi dan berinteraksi. Umurnya terus bertambah, tapi kondisi mentalnya stagnan. Bahkan cenderung menyulitkan. Saat dia marah, kepala ayahnya bisa digigit sampai berdarah. Pak Toni dan sang istri harus selalu siaga menjaganya. Sampai-sampai mereka susah bergaul, kehilangan teman, tak bisa melakukan hobi, dan mengalami berbagai masalah lainnya. Anak itu kini berusia sekitar 25 tahun. Namun kondisinya masih sama—tiap hari kedua orangtuanya repot mengurusi.

Namun di balik kesulitan selalu ada anugerah yang tersembunyi. Berkat mengurus anaknya yang autis, Pak Toni lebih sabar dan tabah. Beliau membiasakan diri untuk bersyukur atas apa saja. Cobaan hidup dianggapnya sebagai tantangan. Dengan pola pikir yang baik, beliau berhasil mencapai kedamaian jiwa. Juga bisa membagi ilmunya pada orang-orang yang membutuhkan. Beliau sering terlibat dalam berbagai kegiatan positif. Seminggu sekali, Pak Toni juga memimpin kelompok meditasi di klenteng. Yang datang bermacam-macam. Ada yang muda seperti kakak saya, ada yang sudah renta, ada yang pemula dan ada juga yang ahli. Sepintas terlihat acak. Tapi sebenarnya terhubung oleh black swan.

Berbagai musibah dialami oleh mereka. Ada peserta meditasi yang sudah menikah selama 30 tahun. Namun karena suatu hal, memutuskan untuk cerai. Ada juga yang terkena penyakit parah dan harus berjuang untuk hidup. Tak hanya itu, ada peserta yang bangkrut dan jatuh miskin. Mereka semua mengalami cobaan yang menyakitkan, baik secara fisik maupun mental. Namun tak menyerah begitu saja. Alih-alih tenggelam dalam kesedihan, mereka justru belajar mengelola pikiran. Segala emosi buruk dihapus. Pikiran dilatih untuk mencapai ketenangan. Berkat itu, kehidupan mereka jadi lebih baik. Terbukti bahwa segala hal bersumber dari pikiran. Saat mengalami black swan, kita pun harus kuat dan melanjutkan hidup dengan tabah.

You Might Also Like

0 comments